a. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
1. Pasal 67 ayat (1): “Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.”
2. Pasal 68: “Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.”
3. Pasal 76 ayat (2): “Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00.”
4. Pasal 76 Ayat (3): “Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00 wajib memberikan makan dan minum bergizi dan menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.”
5. Pasal 76 Ayat (4): “Pengusaha wajib menyediakan angkutan antarjemput bagi pekerja buruh perempuan yang berangkat dan pulang antara pukul 23.00 s.d. pukul 05.00.”
6. Pasal 77 ayat (1): “Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan wajib kerja.”
7. Pasal 79: “Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.”
8. Pasa180:”Pengusaha wajib memberi kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.”
9. Pasal 90: “Pengusaha dilarang membayar upah Iebih rendah daripada upah minimum sebagai mana dimaksut dalam Pasal 89.”
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
1. Pasal 10 ayat (1): “Pengusaha wajib melaporkan kecelakaan kerja yang menimpa tenaga kerja kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam.”
2. Pasal 10 Ayat (2): “Pengusaha wajib melaporkan kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara dalam waktu tidak Iebih dari 2 kali 24 jam setelah tenaga kerja yan tertimpa kecelakaan oleh dokter yang merawatnya dinyatakan sembuh, cacat, atau meninggal dunia.”
3. Pasal 10 Ayat (3): “Pengusaha wajib mengurus hak tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja kepada Badan Penyelenggara sampai memperoleh hak-haknya.”
Di dalam penjelasan ayat tersebut ditegaskan bahwa di samping pengusaha wajib melaporkan kejadian kecelakaan, maka keluarga, serikat pekerja, kawan-kawan sekerja, serta masyarakat dibenarkan memberitahukan kejadian kecelakaan tersebut kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini, menurut Pasal 29 dapat dipidanakan dan diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda setinggi-tingginya Rp50.000.000 dan untuk pengulangannya setelah adanya putusannya yang inkracht, hukuman dipidana kurungan selama-lamanya delapan bulan.
4. Pasal 17: “Pengusaha dan tenaga kerja wajib ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja”.
5. Pasal 18 ayat (1): Pengusaha wajib memiliki daftar tenaga kerja beserta keluarganya, daftar upah beserta perubahan-perubahan, dan daftar kecelakaan kerja di perusahaan atau bagian perusahaan yang berdiri sendiri.
Daftar keluarga merupakan keterangan penting sebagai bahan untuk menetapkan siapa yang berhak atas jaminan atau santunan. Hal ini untuk mencegah agar hak tersebut tidak jatuh kepada orang lain yang bukan keluarganya. Daftar upah diperlukan untuk menentukan besarnya iuran dan jaminan atau santunan yang menjadi hak tenaga kerja. Daftar kecelakaan kerja diperlukan untuk mengetahui tingkat keparahan dan frekuensi kecelakaan kerja di perusahaan yang gunanya untuk tindakan preventif dan pelaksanaan pembayaran jaminan atau santunan.
6. Pasal 19 ayat (2): “Dalam hal perusahaan belum ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja disebabkan adanya pentahapan kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pengusaha wajib memberikan jaminan kecelakaan kerja kepada tenaga kerja sesuai dengan undang-undang ini”.
Pada prinsipnya semua tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan jaminan sosial tenaga kerja.
Dengan adanya pentahapan kepesertaan dan tidak diberlakukannya lagi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia, terdapat tenaga kerja yang tidak mendapatkan perlindungan terhadap risiko kecelakaan kerja.
Sesuai dengan prinsip risiko pekerjaan (risque profesionnel), yakni risiko ditimpa kecelakaan dalam menjalankan pekerjaan merupakan tanggung jawab pengusaha, pengusaha yang belum ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja tetap bertanggung jawab atas jaminan kecelakaan kerja bagi tenaga kerjanya.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini, menurut Pasal 29 dapat dipidanakan dan diancam dengan hukuman kurunganselama-lamanya enam bulan atau denda setinggi-tingginya Rp50.000.000, sedangkan untuk pengulangannya setelah adanya putusannya yang inkracht, hukuman di-pidana kurungan selama-lamanya delapan bulan.
7. Pasal 20 ayat (1): “luran Jaminan Kecelakaan Kerja, luran Jaminan Kematian, dan luran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ditanggung oleh pengusaha”.
Kecelakaan kerja pada dasarnya merupakan suatu risiko yang seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha. Oleh karena itu, pembiayaan-program ini sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha, sedangkan jaminan sosial tenaga kerja lebih menekankan kepada aspek kemanusiaan, yakni pengusaha perlu memerhatikan nasib tenaga kerja serta keluarganya, sehingga beban jaminan pemeliharaan kesehatan dan jaminan kematian ditanggung oleh pengusaha.
Namun, ketentuan tersebut bertentangan dengan ketentuan di dalam Pasal 22 ayat (1), “Pengusaha wajib membayar iuran dan melakukan pemungutan iuran yang menjadi kewajiban tenaga kerja melalui pemotongan upah tenaga kerja serta membayarkan kepada Badan Penyelenggara dalam waktu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”
Bahwa pekerja dalam melaksanakan kewajibannya telah mendatangkan keuntungan bagi perusahaan dan pengusaha nya, sehingga bila berdasarkan Pasal 20 ayat (1), maka besarnya iuran yang dibebankan dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha adalah suatu hal yang wajar. Namun akibat keberadaan Pasal 22 ayat (1) yang mengurangi amanat Pasal 20 ayat (1), maka Pengusaha berhak memotong besaran iuran tersebut melalui penghasilan dari para pekerja.
Jika kita perhatikan di dalam peraturan perundang-undangan sudah cukup jelas pengaturan tentang hak-hak pengusaha dalam mempekerjakan dan menyejahterakan pekerja, pekerja yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana pengusaha mengimplementasikan peraturan perundang-undangan yang seharusnya menjadi dan kewajiban pengusaha yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Sering sekali terjadi pelanggaran hak-hak pekerja/buruh yang dilakukan oleh pengusaha. Hal ini terjadi akibat kurangnya pengawasan dari pemerintah dan pemberian sanksi kepada pengusaha yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang.
0 komentar:
Posting Komentar