About

Senin, 27 Februari 2012

Hiv/AIDS Merebak, TBC Bangkit Kembali


Penularan Tbc Untuk Penderita Aids

AIDS saat ini adalah masalah kesehatan masyarakat dunia yang muncul pertama kalinya (emerging disease) di Amerika sejak awal dekade tahun 1980-an, menyebar ke banyak negara, termasuk Indonesia. Sejak Indonesia melaporkan kasus AIDS secara resmi tahun 1987, sampai akhir April 1997 sudah tercatat 527 kasus HIV/ AIDS (128 AIDS, dan 399 HIV+) yang dilaporkan dari 20 propinsi di Indonesia. Sepanjang situasi dan faktor risiko penyakit ini masih belum mampu diatasi, AIDS akan terus berkembang sebagai masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Selama tahun 1996 saja, sudah tercatat 137 kasus baru (insiden) HIV/AIDS, melampaui jumlah kasus baru HIV/AIDS tahun 1993 (113 kasus) yang dianggap sebagai puncak penularan AIDS secara eksponensial di Indonesia.

Di sisi lain, TBC masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang bersifat endemis di seluruh wilayah Indonesia. Seperti halnya AIDS, penyakit ini juga menyerang kelompok penduduk usia produktif terutama mereka yang tergolong sosial ekonomi rendah. Keduanya dapat dikelompokkan sebagai “the silent killer of the century” karena membunuh penderita secara perlahan-lahan. Keduanya juga menimbulkan stigma sosial dalam bentuk pengucilan penderita. Untungnya vaksin TBC sudah ditemukan dan penyakitnya dapat diobati sampai sembuh. Tetapi vaksin dan obat untuk AIDS masih ditunggu, entah sampai kapan, dapat diakses oleh masyarakat terutama masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang.

Yang menjadi kekhawatiran para pengamat masalah AIDS adalah ledakan kasus TBC (re-emerging disease) di masyarakat bersamaan dengan semakin merebaknya kasus AIDS. Laporan WHO menjelaskan bahwa jika sekelompok individu terinfeksi oleh HIV dan TBC secara bersama-sama, kemungkinannya 25-30 kali penyakit TBCnya akan berkembang lebih aktif dibandingkan kalau mereka hanya terinfeksi oleh TBC saja. AIDS yang melemahkan sistem kekebalan tubuh akan memberikan kesempatan kepada baksil TBC berkembang lebih ganas di tubuh pengidapnya. Ledakan kasus TBC sudah melanda beberapa negara di Afrika sejalan dengan semakin merebaknya epidemi HIV/AIDS di masyarakat negara tersebut. Sepertiga pengidap HIV di negara-negara tersebut juga dilaporkan meninggal akibat penyakit oportunistik TBC.

WHO memperkirakan selama dekade tahun 1990-an di dunia akan terjadi ledakan epidemi TBC yang mengakibatkan 30 juta kematian. Sampai dengan tahun 2000 nanti, kasus baru TB di dunia diperkirakan akan meningkat dengan pesat menjadi 7 juta kasus. Bagaimana gambarannya di Indonesia? Dari Survei Kesehatan Rumah tangga (SKRT) 1986 diketahui rata-rata prevalensi TBC 0.42%, dan penyakit ini tercatat sebagai penyebab kematian nomer tiga di Indonesia. SKRT tahun 1992, melaporkan kematian akibat TBC (9.9%) meningkat ke urutan nomer dua. Dari data SKRT ini dapat disimpulkan bahwa masalah TBC di Indonesia bukannya mereda, tetapi malah semakin potensial berkembang dan dikhawatirkan akan menjadi ancaman kelestarian kesehatan masyarakat apalagi dengan semakin meningkatnya kasus HIV/AIDS.

Krisis baru menanti
Ada dua hal mendasar mengapa masalah TBC dikhawatirkan akan berkembang menjadi krisis baru di bidang kesehatan masyarakat. Pertama, masih lemahnya program pemberantasan penyakit TBC dan kedua, semakin berkembangnya HIV/AIDS sejalan dengan perkembangan situasi dan faktor-faktor risiko penularannya di masyarakat. Agar pelayanan kesehatan masyarakat dapat lebih efektif memotong rantai penularan TBC, manajemen program pemberantasan penyakit TBC perlu lebih ditingkatkan, mulai dari penyediaan berbagai fasilitas diagnostik, staf yang terlatih, dan distribusi obat anti TBC yang mencukupi kebutuhan pusat pelayanan kesehatan. Pendidikan kesehatan masyarakat juga perlu lebih ditingkatkan terutama untuk menjelaskan gejala TBC, cara pencegahannya, sikap diskriminatif terhadap penderita yang tidak perlu, dan nasehat kepada penderita untuk segera mencari pengobatan di Puskesmas.

Dari hasil pengamatan dan diskusi dengan pengelola program di lapangan masih dijumpai beberapa kendala yang perlu segera diantisipasi oleh Depkes. Misalnya, untuk menegakkan diagnosa TBC di Puskesmas dan surveilan pasif untuk pasien yang datang ke balai pengobatan yang mengeluh batuk lebih dari tiga minggu masih sangat tergantung dari jumlah dan kualitas dahak (sputum) pasien. Diagnose TBC aktif di Puskesmas tidak dapat ditegakkan kalau baksil TBC tidak dapat dijumpai pada pemeriksaan mikroskopik karena kualitas dahak kurang baik dan terjadi “masking effect” (pengelabuan) akibat pemberian obat anti TBC yang kurang efektif. Pengobatan anti TBC sudah disediakan secara gratis oleh PPTI dan sistem pengobatan jangka pendek juga sudah diterapkan sesuai dengan pedoman WHO. Tetapi, suksesnya pengobatan juga akan sangat tergantung dari kepatuhan penderita mengikuti program pengobatan. Hal ini yang masih banyak dikeluhkan oleh petugas kesehatan di Puskesmas.

Untuk lebih efektifnya upaya memotong rantai penularan TBC di masyarakat, kualitas surveilan dan pengobatan TBC mutlak diperlukan. Untuk itu, monitoring pelaksanaan surveilan TBC perlu lebih ditingkatkan, termasuk pengobatan TBC dengan obat-obat anti TBC, dengan dosis dan periode waktu yang tepat pula. Persediaan obat anti TBC (gratis) di Puskesmas dijamin oleh Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosa Indonesia (PPTI) untuk penderita yang kurang mampu. Monitoring kualitas dan persediaan obat anti TBC juga perlu dilakukan agar tidak sampai kehabisan stok. PPTI adalah lembaga swadaya yang dana operasionalnya dikumpulkan langsung dari masyarakat melalui bulan bakti PPTI setiap tahun.

Mungkinkah pelayanan TBC dan AIDS diintegrasikan?

Sebagai bagian dari wilayah dunia yang dekat dengan episentrum penularan AIDS di Asia (Thailand dan India), dan semakin meningkatnya tingkat endemisitas TB di Indonesia, sudah saatnya strategi penanggulangan TB dan AIDS di Indonesia dikaji kembali secara seksama. Yang perlu dibenahi adalah yang menyangkut kebijakan dan kegiatan operasional program pemberantasan Penyakit TBC dan AIDS. Diskriminasi (stigma social) penderita TBC dan AIDS juga perlu diantisipasi secara bersama-sama. Dengan menggunakan asumsi akan terjadinya ledakan kedua masalah kesehatan masyarakat ini secara bersamaan dalam waktu yang tidak terlalu lama, ada tiga pertanyaan yang perlu dikaji bersama pada saat kita memperingati hari TBC sedunia. “Mungkinkah pelayanan kedua penyakit ini diintergrasikan di Puskesmas? Mampukah Puskesmas, sebagai Ujung tombak pelayanan kesehatan, diberikan tanggung jawab untuk mengemban tugas ini, mengingat kondisi Puskesmas kita seperti sekarang ini? Jika mungkin, kebijakan apa yang masih perlu dikembangkan?

Untuk mengantisipasi terjadinya ledakan TBC dan AIDS, kelemahan-kelemahan manajemen pelayanan TBC dan AIDS saat ini di Puskesmas perlu diidentifikasi. Hasil identifikasinya dapat digunakan untuk lebih meningkatkan efektifitas pemberantasan penyakit TBC sehingga pengidap TBC tidak lagi menjadi sumber penularan di masyarakat yang mungkin akan meningkatkan risiko penularan TBC untuk penderita AIDS. Seperti halnya penyakit menular seksual (PMS), penyakit TBC mungkin juga dapat dijadikan pertanda dini (surrogate marker) berkembangnya AIDS di masyarakat.

Modal dan mekanisme pengumpulan dana langsung dari masyarakat oleh PPTI sebagai LSM yang diberikan tanggung jawab untuk penanggulangan penyakit TBC di Indonesia, barangkali dapat ditiru polanya oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan Daerah (KPAN/KPAD). Jika kebijakan ini dapat dikembangkan, ketergantungan Indonesia akan bantuan dana luar negeri untuk penanggulangan HIV/AIDS akan dapat dikurangi. Masalahnya, bisakah KPAN/KPAD dikelola seperti PPTI? Untuk menjawab tantangan ini, terpulang kembali kepada para pengambil keputusan strategis di negeri ini, khususnya Depkes. Tetapi yang tetap perlu diwaspadai oleh masyarakat setelah HIV/AIDS berkembang adalah kekhawatiran akan semakin aktifnya penularan TBC di kalangan masyarakat kita.

0 komentar:

Posting Komentar