“AKU mau ini.”
“Jangan, sayang. Itu tidak dijual.”
“Kok di situ?”
“Untuk hiasan. Kita nonton saja sebentar. Itu tidak dijual.”
Seperti malaikat, seorang pelayan dengan seragam penuh aksesori Natal tiba-tiba sudah berdiri di samping sang anak.
“Ini tidak dijual, Adik,” sambil memandang pohon natal. Sambil mengambil kardus panjang berwarna putih, ia tersenyum sambil menawarkan, “Kalau ini boleh, tingginya 60 cm, juga pakai lampu. Boneka Sinterklas itu juga boleh.”
Dengan pandangan setengah menggugat, anak itu menarik tangan ayahnya agar mendekat pada “malaikat” supermarket itu.
“Baik, ambil satu,” kata sang ayah sambil mengusap punggung anaknya.
Sesampai di rumah, si kecil tidak sabar mengeluarkan seluruh isi kardus pohon Natal bertuliskan “Decorated Table Tree” itu: satu set pohon cemara superfisial yang terbuat dari kawat dan potongan-potongan kain hijau, satu set lampu hias, hiasan bola-bola salju, dan tiga atau empat bintang berwarna kuning keemasan. Sambil berbisik “wi wis yu, e meri krimet” (maksudnya we wish you a merry Christmas), ia sibuk membantu ayahnya merangkai pohon natal.
Supaya lebih meriah, sang ayah memasukkan kaset natal ke dalam tape. Satu per satu anggota keluarga bermunculan mendekati “huru-hara” yang tiba-tiba itu. Tiba-tiba ia berhenti di sudut ruangan menghampiri kotak besar yang sedikit berdebu. Puluhan boneka yang sudah lama disimpan di kotak dikeluarkan. Patung Bunda Maria yang sudah retak pun dipasang tidak jauh dari pohon natal. Sinterklas berwarna putih-merah ditaruh di baris paling depan, seperti patung Betara Kala sang penjaga.
POHON cemara, kaset Malam Kudus, boneka Sinterklas, adalah beberapa bahan pokok dalam perayaan Natal. Mudahnya mendapatkan pohon natal di supermarket menjauhkan keinginan anak untuk melihat “kerja bakti” membuat pohon natal di gereja. Banyaknya kaset menjauhkan keinginan anak untuk “nonton” latihan koor persiapan Natal. Murahnya boneka Sinterklas mengakrabkan anak-anak dengan simbol-simbol Natal di tempat lain (yang sebelumnya hampir tidak dikenal di Indonesia).
Untuk mengingatkan bahwa sekarang ini Natal, rasanya lebih mudah pergi ke supermarket daripada pergi ke gereja atau tempat-tempat latihan koor (yang semakin sulit dicari anggotanya!). Semakin banyak memborong atribut-atribut Natal rasanya kita semakin berhasil menghadirkan Natal.
Membeli rasanya seperti beribadat. Tidak membeli sepertinya tidak menghormati Natal. Memang, menjelang perayaan Natal pusat-pusat belanja menjadi semacam sanctuaria untuk memproduksi dan mengonsumsi berbagai atribut atas nama Natal atau, persisnya, bentuk-bentuk simbolik budaya pop Natal. Sebagai bentuk, atribut-atribut itu siap kita pakai sesuai dengan kepentingan kita (dari bisnis, keagamaan, pergaulan, sampai dengan gengsi). Bentuk-bentuk itu bersifat simbolik karena semuanya mengatasi nilai fungsionalnya.
Pohon natal yang semula berdiri di gereja untuk kepentingan upacara misa atau kebaktian, kini berdiri di rumah-rumah, di supermarket, dan di tempat-tempat publik seperti kantor dan rumah sakit dengan fungsinya masing-masing. Topi berjambul yang dikenakan pada kakek Sinterklas bisa juga dipakai untuk seragam sekelompok anak muda untuk pesta Natal maupun Tahun Baru.
Bentuk-bentuk simbolik itu juga memiliki karakter budaya pop dalam arti menduduki posisi komoditas dalam sebuah perekonomian kapitalis. Komoditas tersebut menjadi impian siapa saja yang ingin hadir sekarang dan di sini, yaitu saat Natal. Tanpa pohon natal seakan kita tidak natalan seperti halnya tanpa sampo rambut seakan rambut kita penuh ketombe. Anehnya, pohon cemara yang ditanam di depan rumah tiba-tiba menjadi kurang afdal daripada pohon cemara artifisial itu! Status aksesori Natal sebagai komoditas ternyata bukan hanya memperluas para pengguna aksesori (dengan berbagai kekuatan promosionalnya) melainkan juga memasukkan unsur baru, yaitu membeli. Kenikmatan membeli bercampur baur dengan kekhusukan berbakti, kenikmatan mengonsumsi bercampur baur dengan kenikmatan promosi dan gengsi.
BEGITULAH Natal masuk dalam logika budaya pop Natal. Gloria in excelsis Deo (Kemuliaan pada Allah di surga) seakan habis dimaterialisasikan dalam gemerlapan lampu-lampu indah dan rumbai-rumbai pintu yang menghiasi pusat-pusat perbelanjaan. Kita seakan tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk memilih cara lain untuk merayakan Natal di luar cara yang dijualbelikan. Kalau toh ada, perayaan kita rasanya belum komplet kalau belum dilengkapi dengan berbagai aksesori yang ada (entah karena keterbatasan ekonomi maupun keterbatasan keyakinan untuk mengonsumsinya!). Poros Natal dari rumah ke gereja digeser oleh poros dari rumah ke pusat belanja.
Apakah dengan demikian kita kehilangan kesempatan untuk mengalami Natal kita sendiri? Belum tentu. Sebagai bentuk-bentuk simbolik, atribut-atribut Natal bebas kita pakai untuk menggubah cerita Natal kita sendiri. Kisah Natal adalah kisah tentang pengalaman keterbatasan sekaligus kebebasan manusia. Kisah Natal pasti bukan kisah tentang pohon natal bersalju yang tidak pernah kita lihat wujud aslinya, juga bukan kisah tentang tokoh mistis Sinterklas yang barang kali tidak pernah kita dengar sejarahnya, juga bukan kisah tentang lagu Malam Kudus yang kita nyanyikan dengan empat suara. Perayaan Natal di negeri lain menghasilkan pohon natal, bukan sebaliknya; perayaan Natal anak-anak di negeri lain menghasilkan kisah tentang Sinterklas, bukan sebaliknya; pengalaman Natal juga menghasilkan lagu Malam Sunyi yang terkenal itu.
Orang bilang, salah satu ciri pengalaman konsumsi zaman sekarang adalah ephemeral, sesaat, cepat berlalu, minta konsumsi lagi dan lagi. Pengalaman ini barangkali juga kita alami saat membeli pohon natal. Hanya dalam dua atau tiga hari, pohon natal mungkin saja berdiri kesepian di pojok ruang, bisu tidak bisa bicara karena sudah menjauh dari pengalaman nikmat membeli.
Jangan-jangan kesunyian pasca-konsumsi ini yang paling dekat dengan ungkapan “malam sunyi” yang kita nyanyikan. Orang butuh pengalaman lain yang pantas dikenang, yang pantas menghias kehidupan, yang tidak hanya mengalir dari pengalaman pembelian, melainkan dilakukan bersama orang lain, yang tidak muncul dari menyaksikan (voyeuristic) melainkan kesaksian.
Kita pertama-tama tidak butuh popular culture yang diproduksi oleh satu mesin ideologi konsumsi massa, melainkan culture of the people dengan berbagai ragamnya, bukan popular culture yang senantiasa minta disaksikan melainkan culture of the people yang menuntut kesaksian, bukan popular culture yang kita capai lewat konsumsi (sendirian) melainkan culture of the people yang kita ciptakan bersama orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar