Sepintas memang tidak berhubungan antara mobil robot dan kemacetan. Namun, ada yang berpendapat bahwa kemacetan di Jakarta bukan disebabkan oleh banyaknya kendaraan atau panjang jalan yang kurang, tetapi pengemudi yang tidak tahu aturan. Nah, jika pengemudi tahu aturan tentu kemacetan tidak menggila seperti saat ini. Siapa pengemudi yang tahu aturan? Ada banyak sebenarnya, tapi tidak ada yang bisa mengalahkan robot soal ketaatan pada aturan. Asal program yang diberikan benar saja.
Kecelakaan di jalan raya memang bikin kita miris. Di Amerika Serikat, misalnya, setahun 42.000 nyawa melayang akibat kecelakaan mobil. "Dan sekitar sejuta orang di seluruh dunia," kata Sebastian Trun, profesor sains komputer di Stanford. Menurut dia, mobil yang ada sekarang tidaklah aman. Lagian, mobil-mobil yang berseliwean di jalan raya saat ini tidak efisien, menyebabkan kemacetan, dan memerlukan orang yang harus konsisten fokus melihat jalanan selama berkendara.
Oleh sebab itu, ide merancang mobil yang bisa melaju sendiri dapat dibayangkan akan membuat jalanan lebih ramah dan memberikan waktu yang hilang bagi penumpang. "Hal ini akan mengubah pranata sosial," dia menambahkan.
Di Amerika Serikat, sejak tahun 2004 Defense Advance Research Projects Agency (DARPA) menjadi sponsor lomba berkendara mobil robot. Pemenang pertama berhak uang sebesar Rp 180 miliar (kurs 1AS$ = Rp 9.000,-), pemenang kedua separonya, dan pemenang ketiga seperempatnya.
Tujuan dari lomba ini adalah menciptakan "robot" yang dapat mengendarai mobil dengan aman melaju di jalanan kota yang penuh dengan rintangan dan alangan, termasuk membaca lampu lalu lintas. Robot dalam tanda kutip sebab tidak ada bentuk fisik seperti robot yang kita lihat di film. Lebih tepat disebut sebagai mobil yang dikendalikan oleh komputer.
Memutuskan dalam 300 milidetik
Sosok mobil yang ikut lomba memang masih jauh dari ideal. Mobilnya sih mobil kebanyakan yang beredar di jalanan. Tim Stanford University misalnya, mendandani mobil Volkswagen Passat untuk mengikuti lomba tadi. Mobil yang diberi nama Junior ini penuh dengan peralatan sensor dan komputasi.
Dua tahun lalu (2005), tim Stanford dengan mobil robot yang diberi nama Stanley memenangkan DARPA'S Grand Challenge, lomba mobil nirsopir di padang pasir. Mobil itu dipasangi sistem GPS dan laser, kamera, dan peranti pembantu lain yang dapat membantu mobil tadi melaju melewati rintangan. Untuk tahun 2007 ini, tim Stanford menurunkan Junior, penerus Stanley, namun dengan beberapa perbaikan.
Junior menggunakan laser berjenis sama dengan Stanley, hanya "jarak pandangnya" saja lebih jauh. Mobil ini memiliki delapan sistem LIDAR yang memancarkan sinar dan menangkap pantulannya untuk menentukan jarak sebuah objek. Satu sistem dilekatkan di atap bagian depan Junior dan memiliki jangkauan sekitar 100 m. Sistem LIDAR lain dipasang di kolong yang melihat jalanan dan garis marka jalan. Sistem ketiga secara terus menerus mengambil gambar di sekeliling mobil. Semua data itu diproses oleh dua "mesin" berkekuatan prosesor Intel quad-core yang berlari pada kecepatan 2,3 gigahertz. Semua informasi yang berhubungan dengan navigasi ini kemdian disambungkan ke sistem mengemudi yang akan memandu mobil.
Junior juga dilengkapi dengan sistem penentu lokasi yang akurat meliputi GPS dan sensor lain yang mengukur perputaran roda dan arah mobil bergerak. Secara bahu membahu, sensor-sensor itu memandu Junior mengenali posisinya. Dibandingkan dengan Stanley, Junior lebih pintar sehingga bisa mengenali persimpangan dan kemacetan. Kemampuan ini akibat dari "mesinnya" yang bisa menghitung 500 kemungkinan yang berbeda. Hebatnya lagi, hasilnya sudah bisa diketahui dalam jangka waktu 300 milidetik. Cukup untuk melakukan respon seperti mengurangi kecepatan secara mendadak atau bermanuver menghindari senggolan.
Adanya perangkat tadi memang membuat Junior piawai melakukan berbagai manuver. Berhenti dari kecepatan sekitar 32 km/jam, tidak melanggar marka garis lurus, berhenti di rambu khusus berhenti, berputar melalui U-turn, dan menghindari alangan merupakan sebagian kepintaran Junior.
Mirip kota sebenarnya
Menggantikan sopir dengan komputer untuk menjalankan mobil pada kondisi sebenarnya memang tidak sesederhana melajukannya pada jalan lurus. "Kalau untuk jalan lurus tinggal masukkan saja koordinat dan dibantu sistem GPS. Namun persoalan utama 'kan bagaimana mengenali lingkungan sekitar, daerah mana saja yang bisa dilalui dan mana yang tidak," kata Thrun.
Pada hari perlombaan, masing-masing peserta diberi misi berganda - semisal berpindah dari titik A ke B, kemudian berhenti di titik C. Waktu lomba enam jam dan hasil tidak ditentukan semata siapa yang cepat mencapai garis finish. Perilaku "pengemudi" juga dinilai. Persoalan yang harus dipecahkan meliputi dua hal: persepsi dan pengambilan keputusan.
Salah satu hal yang menarik dari mobil rakitan Stanford University, selain digunakannya beberapa sensor laser untuk menentukan jarak terhadap kendaraan lain di jalan raya adalah kamera yang mampu melihat sekitar dalam sekejap. Kamera yang diberi nama Ladybug2 ini terdiri atas 6 kamera charge-coupled device (CCD) yang dikemas dalam wadah mungil dan memungkinkan untuk "melihat" 75% pemandangan di sekeliling. Kamera ini disambungkan ke komputer menggunakan antarmuka IEEE-1394b yang memungkinkan memindahkan data ke komputer pada kecepatan 30 frame per detik.
Dalam sebuah blog, masih menjadi pertanyaan bagaimana data dari Ladybug2 ini diolah oleh Junior. Bisa jadi menggunakan data visual untuk melakukan pemetaan dan lokalisasi ketika sistem GPS gagal bekerja. Atau bisa saja data visual digunakan untuk mendeteksi dan mengenali rambu dan lampu lalin. Yang terakhir ini merupakan kesulitan tersendiri dalam Urban Challenge.
Urban Challenge kali ini memang berbeda dengan lomba sebelumnya sebab sekarang medannya dibuat semirip mungkin dengan kondisi sebuah perkotaan. Ada bangunan, mobil berseliweran, rambu-rambu jalan yang harus ditaati, serta tempat parkir. Untuk lokasi dipilih bekas markas George Air Force di Victorville, California, AS.
Navigasi dan komputasi
Meski Junior menjadi mobil yang memiliki catatan waktu paling bagus dibandingkan peserta lain, namun pemenang lomba adalah Boss, mobil dari Tartan Racing. Sosok Boss adalah Chevrolet Tahoe dengan lebih dari 500.000 baris kode-kode pemrograman untuk navigasi swatantra baik di kota maupun di jalanan. Boss menggunakan peranti lunak untuk melakukan persepsi, perencanaan, dan bertindak.
Untuk peralatan yang disandangnya tidak jauh berbeda dengan Junior. Ada lebih dari sedosin laser, beberapa kamera, dan juga radar untuk melihat lingkungan sekeliling. Untuk bergerak ia mempertimbangkan objek-objek diam dan dinamis yang dideteksi oleh "penglihatannya". Objek itu meliputi antara lain batas jalan dan markanya, batas tempat parkir, marka berhenti, serta rambu pembatas kecepatan. Boss tak hanya melakukan safety driving, bahkan lebih dari itu: defensive driving untuk menghindari tabrakan.
Boss boleh lebih lambat dari Junior, namun SUV rakitan raksasa motor Amerika Serikat General Motor ini memiliki kemampuan lebih. Misalnya saja menaati rambu-rambu jalan raya, mendeteksi dan menjejak kehadiran kendaraan lain dalam jarak yang jauh, mematuhi peraturan di persimpangan jalan, mengikuti kendaraan di depannya dalam jarak yang aman, serta mampu bereaksi terhadap kondisi dinamis macam jalan yang ditutup atau jembatan rusak. Salah seorang anggota tim Carnegie Mellon yang berada di balik suskses Tim Tartan Racing, Bryan Salesky, berkomentar bahwa Boss agresif tapi aman.
Dari semua mobil yang berlomba terlihat ada kesamaan dalam mendandani mobil mereka untuk ikut serta dalam lomba ini: menggabungkan navigasi satelit dengan kamera, radar, laser, serta sistem kecerdasan buatan untuk menentukan posisi mobil dan arah tujuan, lalu meneruskan ke sistem yang mengendalikan laju kendaraan, dari menyetir hingga akselerasi. "Sungguh mengejutkan pikiran kita bahwa ketika roda mobil-mobil itu bergulir, tidak ada seseorang pun di dalam mobil," kata Tammie Bird, seorang stunt driver yang mengendarai mobil di jalanan sebagai bagian dari simulasi sebuah kota dalam perlombaan.
Masih jauh teknologi navigasi tadi untuk diaplikasikan dalam mobil seperti sosok KITT, mobil pintar dalam serial teve Knight Rider. Pihak militer Amerika Serikat berharap teknologi ini dapat membantu armada logistik mereka, sehingga meminimalkan angka kecelakaan prajuritnya. Sementara pihak universitas yang terlibat berharap teknologi mereka dapat membantu mengurangi kecelakaan di jalan raya dan membuat nyaman aktivitas mengemudi. Banyak peneliti lainnya yang menganggap bahwa teknologi yang ada bisa diaplikasikan pada mobil yang sudah ada saat ini dalam jangka lima tahun ke depan untuk membantu pengendara menghindari kecelakaan dan membantu mereka yang mengalami cacat fisik.
Sekarang, berandai-andai saja dulu. Bayangkan Jakarta yang dipenuhi dengan mobil-mobil robot semacam ini. Macet boleh saja, tapi niscaya bunyi klakson yang keras untuk menyuruh mobil di depan jalan tidak terdengar. Atraksi saling serobot tak tampak. Kita sebagai penumpang tidak stres. Istilah tua di jalan berubah menjadi produktif di jalan karena waktu yang habis untuk mengemudi kembali menjadi milik kita sepenuhnya